Apa itu Adversity Quotient?
Adversity Quotient (AQ) |
Kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) yang pada masa lalu dianggap sebagai faktor utama bagi seseorang dalam meraih sukses, sudah tak mampu lagi dijadikan pijakan. Hal ini karena ternyata banyak ditermukan sebuah realitas yang menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki IQ maupun EQ yang tinggi pun banyak yang mengalami kegagalan. Namun demikian ia tak menampik bahwa kedua jenis kecerdasan tersebut memiliki peran. Hanya saja, ia mempertanyakan mengapa ada orang yang mampu bertahan dan terus maju, ketika banyak dari yang lain terhempas ketika diterpa badai kesulitan, padahal mungkin diantara mereka sama-sama brilian dan pandai bergaul. Disinilah menurut Stoltz, Adversity Quotient menjadi pembeda diantara mereka (Stoltz, 2000:17-20).
Berikut ini beberapa pengertian Adversity Quotient (AQ) dari beberapa sumber buku referensi:
- Menurut Leman (2007:115), adversity quotient secara ringkas, yaitu sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah. Beberapa definisi di atas yang cukup beragam, terdapat fokus atau titik tekan, yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang, baik fisik ataupun psikis dalam menghadapi problematika atau permasalahan yang sedang dialami.
- Menurut Nashori (2007:47), adversity quotient merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan kecerdasannya untuk mengarahkan, mengubah cara berfikir dan tindakannya ketika menghadapi hambatan dan kesulitan yang bisa menyengsarakan dirinya.
- Menurut Wangsadinata dan Suprayitno (2008), Adversity Quotient adalah suatu kemampuan atau kecerdasan ketangguhan berupa seberapa baik individu bertahan atas cobaan yang dialami dan seberapa baik kemampuan individu dapat mengatasinya.
Bentuk dan Tipe Adversity Quotient
Stoltz membagi tiga tipe manusia yang diibaratkan sedang dalam perjalanan mendaki gunung yaitu quitter, camper, dan climber. Adapun penjelasan bentuk dan tipe Adversity Quotient adalah sebagai berikut (Stoltz, 2000:20):- Quitters (orang-orang yang berhenti). Mereka adalah orang yang berhenti dari pendakian (dalam analogi pendakian gunung sebagaimana tersebut diatas). Quitters bekerja sekadar cukup, sedikit memperlihatkan ambisi, semangat yang minim, dan mutu di bawah standar. Orang-orang jenis ini berhenti ditengah proses pendakian, gampang putus asa, menyerah.
- Campers (orang-orang yang berkemah). Mereka adalah orang yang cukup memiliki motivasi, sudah menunjukkan upaya dan mencoba, namun tak cukup sungguh-sungguh mengejar cita-cita sehingga sering kali memilih berhenti pada suatu titik karena merasa capai atau bosan dengan tantangan yang dihadapi.
- Climbers (orang-orang pendaki). Mereka adalah orang yang diramalkan dapat mencapai kesuksesan. Mereka tak pernah menyerah pada kesulitan. Terus berjuang dalam mengejar cita-cita, kreatif, memiliki motivasi yang tinggi, dan optimis. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan lain menghalangi pendakiannya.
Menurut Stoltz (2000:12), kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan terutama ditentukan oleh tingkat adversity quotient. Adversity quotient tersebut terwujud dalam tiga bentuk, yaitu :
- Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan.
- Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan.
- Serangkaian alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan.
Aspek atau Dimensi Adversity Quotient
Stoltz (2000:102) membagi empat aspek atau dimensi dasar yang akan menghasilkan kemampuan adversity quotient yang tinggi yang kemudian disingkat menjadi CO2RE (Control, Origin, Ownership, Reach, Endurance) yang dijelaskan sebagai berikut (Stoltz:140-162):a. Control (kendali)
Control atau kendali adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan mengelola sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan di masa mendatang. Kendali diri ini akan berdampak pada tindakan selanjutnya atau respon yang dilakukan individu bersangkutan, tentang harapan dan idealitas individu untuk tetap berusaha keras mewujudkan keinginannya walau sesulit apapun keadaannya sekarang.b. Origin (asal-usul) dan ownership (pengakuan)
Sejauh mana seseorang mempermasalahkan dirinya ketika mendapati bahwa kesalahan tersebut berasal dari dirinya, atau sejauh mana seseorang mempermasalahkan orang lain atau lingkungan yang menjadi sumber kesulitan atau kegagalan seseorang. Rasa bersalah yang tepat akan menggugah seseorang untuk bertindak sedangkan rasa bersalah yang terlampau besar akan menciptakan kelumpuhan. Poin ini merupakan pembukaan dari poin ownership. Ownership mengungkap sejauh mana seseorang mengakui akibat-akibat kesulitan dan kesediaan seseorang untuk bertanggung jawab atas kesalahan atau kegagalan tersebut.c. Reach (jangkauan)
Sejauh mana kesulitan ini akan merambah kehidupan seseorang menunjukkan bagaimana suatu masalah mengganggu aktivitas lainnya, sekalipun tidak berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi. Adversity quotient yang rendah pada individu akan membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari kehidupan seseorang.d. Endurance (daya tahan)
Endurance adalah aspek ketahanan individu. Sejauh mana kecepatan dan ketepatan seseorang dalam memecahkan masalah. Sehingga pada aspek ini dapat dilihat berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Hal ini berkaitan dengan pandangan individu terhadap kepermanenan dan ketemporeran kesulitan yang berlangsung. Efek dari aspek ini adalah pada harapan tentang baik atau buruknya keadaan masa depan. Makin tinggi daya tahan seseorang, makin mampu menghadapi berbagai kesukaran yang dihadapinya.Faktor Pembentuk Adversity Quotient
Faktor-faktor pembentuk adversity quotient adalah sebagai berikut (Stoltz, 2000:92):- Daya saing. Adversity quotient yang rendah dikarenakan tidak adanya daya saing ketika menghadapi kesulitan, sehingga kehilangan kemampuan untuk menciptakan peluang dalam kesulitan yang dihadapi.
- Produktivitas. Penelitian yang dilakukan di sejumlah perusahaan menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara kinerja karyawan dengan respon yang diberikan terhadap kesulitan. Artinya respon konstruktif yang diberikan seseorang terhadap kesulitan akan membantu meningkatkan kinerja lebih baik, dan sebaliknya respon yang destruktif mempunyai kinerja yang rendah.
- Motivasi. Seseorang yang mempunyai motivasi yang kuat mampu menciptakan peluang dalam kesulitan, artinya seseorang dengan motivasi yang kuat akan berupaya menyelesaikan kesulitan dengan menggunakan segenap kemampuan.
- Mengambil risiko. Seseorang yang mempunyai adversity quotient tinggi lebih berani mengambil risiko dari tindakan yang dilakukan. Hal itu dikarenakan seseorang dengan adversity quotient tinggi merespon kesulitan secara lebih konstruktif.
- Perbaikan. Seseorang dengan adversity quotient yang tinggi senantiasa berupaya mengatasi kesulitan dengan langkah konkret, yaitu dengan melakukan perbaikan dalam berbagai aspek agar kesulitan tersebut tidak menjangkau bidang-bidang yang lain.
- Ketekunan. Seseorang yang merespon kesulitan dengan baik akan senantiasa bertahan.
- Belajar. Seseorang yang merespon secara optimis akan banyak belajar dan lebih berprestasi dibandingkan dengan seseorang yang memiliki pola pesimistis.
Cara Menumbuhkan Adversity Quotient
Menurut Stoltz, cara menumbuhkan dan mengembangkan Adversity Quotient dapat dilakukan dengan istilah LEAD (Listened, Explored, Analized, Do) yaitu dijelaskan sebagai berikut:a. Listened (dengar)
Mendengarkan respon terhadap kesulitan merupakan langkah yang penting dalam mengubah AQ individu. Individu berusaha menyadari dan menemukan jika terjadi kesulitan, kemudian menanyakan pada diri sendiri apakah itu respon AQ yang tinggi atau rendah, serta menyadari dimensi AQ mana yang paling tinggi.b. Explored (gali)
Pada tahap ini, individu didorong untuk menjajaki asal-usul atau mencari penyebab dari masalah. Setelah itu menemukan mana yang merupakan kesalahannya, lalu mengeksplorasi alternatif tindakan yang tepat.c. Analized (analis)
Pada tahap ini, individu diharapkan mampu penganalisis bukti apa yang menyebabkan individu tidak dapat mengendalikan masalah, bukti bahwa kesulitan itu harus menjangkau wilayah lain dalam kehidupan, serta bukti mengapa kesulitan itu harus berlangsung lebih lama dari semestinya. Fakta fakta ini perlu dianalisis untuk menemukan beberapa faktor yang mendukung AQ individu.d. Do (lakukan)
Terakhir, individu diharapkan dapat mengambil tindakan nyata setelah melewati tahapan-tahapan sebelumnya. Sebelumnya diharapkan individu dapat mendapatkan informasi tambahan guna melakukan pengendalian situasi yang sulit, kemudian membatasi jangkauan keberlangsungan masalah saat kesulitan itu terjadi.Daftar Pustaka
- Stoltz, Paul G. 2000. Adversity Quotient; Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: Grasindo.
- Agustian, Ary Ginanjar. 2001. Rahasia sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ: Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan Rukun Islam. Jakarta: Arga Wijaya Persada.
- Leman. 2007. Memahami Adversity Quotient. Anima (Indonesian Psychological Journal).
- Nashori. 2007. Pelatihan Adversity Intellegence untuk MeningkatkanKebermaknaan Hidup Remaja Panti Asuhan. Jurnal Psikologi No.23 ThnXII Januari 2007.
- Wangsadinata, Wiratman dan G. Suprayitno. 2008. Roosseno: Jembatan dan Menjebatani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Post a Comment
Post a Comment